Pergeseran Motif Kegiatan Jurnalisme Investigasi


Oleh: Redi Irwansyah

Pada pertengahan  tahun 2011 sebagian besar elit dunia sempat dikejutkan oleh Wikileaks, yang dalam laporannya mengungkap bobrok-bobrok besar di berbagai belahan dunia. Laporan tersebut kemudian di Follow up oleh beberapa media. Alhasil, tim kecil yang berisi pribadi-pribadi luar biasa ini kemudian di uber-uber banyak negara karena dianggap dapat mengacaukan stabilitas internasional.

Begitu juga yang dialami David Graham Philip, yang menulis laporan berseri The Treason of the Senate (kecurangan di Senat). Ia harus menyaksikan langsung kemarahan Presiden Amerika Serikat saat itu, Theodore Rosevelt (S. Santana. Jurnalisme Investigasi. Yayasan Obor Indonesia. 2003).

Catatan awal reportase investigasi disebut-sebut terbit pada Tahun 1960. Benjamin Harris menerbitkan laporan yang berjudul Public Occurrences, Both Foreign and Domestic (kejadian Umum yang berlangsung di luar dan dalam negeri). Surat kabarnya kemudian ditutup oleh pemerintah Amerika. Laporan Benjamin Harris tersebut kemudian dianggap sebagai laporan investigasi pertama meskipun jauh sebelumnya, pada tahun 1721, James Franklin harus meringkuk di penjara, karena reportasenya dianggap sembarangan.

 Di Indonesia, juga sudah banyak reporter yang harus meringkuk di dalam penjara saat mencoba lebih jauh mengorek informasi dan menerbitkannya. Beberapa media bahkan di bredel. Pada zaman Soeharto, Indonesia Raya yang mengungkap kebobrokan dan korupsi di Pertamina yang melibatkan Soeharto dan Ibnu Sutowo akhirnya ditutup. Begitu juga TEMPO, yang mencoba menulis secara lengkap soal skandal pembelian kapal perang bekas armada Jerman Timur, yang melibatkan Menteri Riset dan Teknologi, waktu itu B.J. Habibie dengan Soeharto dan Liem Soei Liong.

Gunawan Moehammad, mantan pimpinan redaksi Majalah Tempo bahkan memutuskan berhenti sebagai Pimpinan Redaksi dan menghentikan produksi investigative reporting setelah menuai berbagai masalah. Beliau kemudian dituding banyak pihak berhenti menjadi seorang jurnalis sejak saat itu.

Investigate (English) sendiri terdiri atas dua penggalan kata. Yaitu Invest dan Gate. Harfiahnya, Investigasi bisa didefinisikan dengan: mengeluarkan sumber daya untuk mendapatkan sesuatu (Invest) yang disembunyikan dari orang lain (Gate/Skandal). Tujuannya sendiri cukup jelas, untuk mengungkap hal-hal yang sangat krusial dan sengaja tidak dimunculkan. Lumrah,  jika akhirnya investigasi sendiri akhirnya harus berdekatan, bahkan berdekapan dengan hal-hal berbau tabu dan bahaya.

Pergeseran Motif

Setelah reformasi dan diluncurkannya UU No. 40 Th 1999 tentang Pers, Pers seperti mendapatkan nafas baru. Kemudahan prosedur penerbitan media menjadi alasan bermunculannya berbagai media di Indonesia. Media-media yang mengkhususkan diri menyediakan laporan investigatif pun mendominasi. Banyaknya media khusus investigasi ini kembali membuka harapan akan Indonesia yang jauh lebih baik. Meskipun, pasca penerapan UU 40 Th 1999 tersebut, kualitas seorang jurnalis justru menjadi masalah tersendiri. Uji kompetensi tentunya tidak dapat dilakukan secara menyeluruh.

Rasanya cukup logis mengatakan bahwa kemampuan seorang jurnalis dalam mengungkapkan fakta kecurangan-kecurangan yang terjadi, baik di lingkup birokrasi hingga kejadian-kejadian yang berkembang di tengah masyarakat berbeda satu sama lain. Begitu juga motif yang digunakan. Seorang jurnalis mungkin saja menyajikan laporannya dengan harapan dapat menciptakan keadaan yang lebih baik dalam masyarakatnya. Meskipun tidak dapat dipungkiri, ada juga jurnalis yang sengaja membuat laporan investigasi untuk menembus tingkatan karier yang lebih baik.

Hegemoni media-media besar yang biasanya terbit secara harian menciptakan Demonstrasion Effect(kecenderungan untuk meniru) khas kapitalisme di setiap insan Pers hingga calon jurnalis. Media-media Investigasi yang tidak begitu terkenal namun aktif menyajikan laporan investigasi baik mingguan maupun bulanan tidak lagi menjadi target cita-cita tempat kerja bagi kebanyakan mahasiswa jurnalistik. Tingkat gaji yang lebih tinggi dan kebanggaan bekerja di media-media harian lokal maupun nasional akhirnya menjadi alasan-alasan mereka berkarya.

Dilain pihak, besarnya sumberdaya yang harus dikeluarkan dalam menghasilkan laporan investigasi membuat kebanyakan jurnalis akhirnya memilih hanya melakukan tugas-tugas resmi semisal menghadiri pertemuan dewan kota, DPR atau pertemuan lainnya. Mereka mencatat atau merekam pertemuan, kemudian menyelesaikan berita sebelum deadline (tenggat) untuk kemudian memperoleh amplop.

Jurnalis seperti ini jelas tidak mampu menjadi investigator, karena mengikuti agenda pihak lain, ia tidak memiliki tujuan tersendiri dan tidak begitu peduli dengan efek dari publikasi beritanya. Ia enggan memikirkan fungsi, tujuan maupun nilai-nilai jurnalisme. Ia gagal menangkap pembicaraan pribadi diantara anggota dewan kota, stafnya dan interes grup. Ia tidak menelaah  kontak-kontrak atau membuka dokumen rahasia lain yang potensial. Jurnalis seperti ini lebih banyak berlaku seperti pengeras suara dibandingkan reporter atau penulis.

Macetnya Jurnalisme Investigatif

Meninggalkan nilai-nilai etika dan moral demi mengamankan sejumlah materi memang terjadi hampir di setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia, tidak terkecuali jurnalisme di Sumatera Barat. Dengan sedikitnya investigator yang tersisa, masih ada saja yang bahkan membuat laporan untuk keuntungan pribadi dengan menjual data dan fakta. Akhirnya, aspek moral, yang menurut Mencher (Melvin Mencher, News Reporting and Writing, Brown & benchmanrk Publishers,1997) merupakan pemicu utama bagi para jurnalis dalam melakukan peliputan investigasi,  tidak mampu memacu gairah produksi laporan investigasi.

Selain itu, beberapa media kecil di Sumatera Barat yang masih berusaha untuk tetap eksis ternyata sama sekali tidak memberikan kompensasi yang cukup bagi jurnalis-jurnalisnya. Tanpa gaji yang cukup, akhirnya jurnalis-jurnalis yang kurang sejahtera ini, terkungkung dalam iklim amplop yang menggila. Dihujani amplop dari para pejabat, jurnalis-jurnalis ini memenuhi kebutuhan ekonominya sendiri.  Amplop yang lebih lebar bahkan bisa didapat jika jurnalis ini memiliki data dan bukti kecurangan pejabat pemberi amplop.

Sumatera Barat sebenarnya memiliki media-media Investigasi yang cukup punya kompetensi dan sudah berkiprah sudah cukup lama. Saat ini masih terbit koran-koran mingguan seperti Jejak News, Bakinnews, Investigasi dan Binnews yang sejak awal berdirinya mengkhususkan diri menyajikan laporan investigasi. Koran-koran ini pada kenyataannya tidak begitu dikenal oleh masyarakat luas. Dengan oplah yang terbatas akhirnya laporan-laporan mereka hanya dibaca oleh segelintir orang yang memiliki kepentingan saja. Dengan minimnya pembaca, tujuan dari penyajian laporan investigasi pun akhirnya sulit untuk dicapai.

Media harian di Sumatera Barat yang notabene-nya memiliki pembaca yang lebih banyak, juga menyajikan beberapa laporan investigasi, meskipun tidak begitu mendalam-karena memang bukan merupakan bidang khususnya.

Meskipun sebenarnya mampu menghasilkan laporan investigasi yang bernilai, wartawan harian yang jumlahnya terbatas ini dibebani berita setiap harinya. Mereka tidak memiliki waktu tenggat yang cukup untuk melakukan paper & people trails. Tidak ada narasumber dan saksi kunci baru yang berhasil ditemukan, tidak ada dokumen dan catatan publik yang diteliti dan dianalisa. Laporan dibuat berbahankan catatan-catatan yang dibuat sendiri sebagai hasil wawancara dengan pihak berwenang.  Penetrasi dan Inovasi dalam berwawancara dan penulisan berita juga masih terlalu minim karena berbenturan dengan kebijakan jumlah halaman dan arah kepentingan berita pada tiap media. Alhasil, banyak media harian gagal menghasilkan laporan investigasi yang berkualitas.

LSM sebagai Investigator dan mitra utama penyedia informasi bagi para jurnalis juga mengalami hal yang hampir serupa. Tindakan penyelidikan yang dilakukan secara swadaya oleh intelijen mereka,  hingga data-data laporan yang diperoleh,  tidak mendapat kesempatan publikasi yang lebih luas – karena dikalahkan space iklan.

Selain itu, menurut Ellizabeth Fuller Collins dalam bukunya “Indonesian Betrayed” yang diterbitkan  University of Hawai’i Press pada tahun 2007, LSM di Indonesia cenderung menggunakan hasil penyelidikan untuk menutupi biaya yang dikeluarkan dan mendapatkan keuntungan pribadi.  Pada Bab yang berjudul “LSM: Mana Lokak Saya?- Negara dan Korupsi”, Ellizabeth menceritakan secara terbuka tindak-tanduk tidak benar dari beberapa LSM di Indonesia, khususnya Sumatera Selatan. Apa yang terjadi di Sumatera Selatan juga tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Sumatera Barat. “Bagi-bagi jatah” menjadi hal yang lumrah. Dan bukan tidak mungkin dapat dibuktikan secara langsung.

Kemudian, rasanya tidak terlalu berlebihan juga jika penulis mengatakan bahwa di Sumatera Barat, cita-cita untuk menciptakan good governance dan social goodness masih terlalu jauh.  Disamping masyarakatnya yang memang belum cukup mampu menyadari pentingnya memperjuangkan hak-hak mereka serta tumpulnya penegak hukum, pers sebagai alat kontrol sosial juga dinilai masih gagal memainkan fungsinya. ***

About tayak

pecundang yang tidak ingin tenggelam dalam lumpur kebodohannya

Posted on Januari 6, 2012, in Artikel. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar