Monthly Archives: Juni 2008

seremoni penelanan (2)

leherku menarik bahasa dari punggungku. demi lidahku..!, justru demikianlah mereka menyelamatkan reruntuhan dari kokohnya peradaban. dan tepat sesaat sebelum aku menjadi senyawa dari pesawat tempur yang terbang sia-sia demi darah dan kematian, sebuah kota tua yang lupa dimana menaruh peta dirinya menebas leherku. memerdekakan bahasa atas segala arah yang ada..

bahasaku membawa mulutku bersamanya. mengajarkannya teka-teki gila dan seremoni-seremoni dunia. mereka perkasa dan jumawa. jauh, jauh meninggalkan bayanganku di tepian serayu yang beku ditubuh bekasku.. tapi suatu pagi, tubuh bekas itu bangkit dari petasan yang menyimpan sebelas tanda luka di dahi. Menceritakan padaku tentangku :

ah…, aku menderita komplikasi dari penyakit orang-orang mati : Hypsiphobia, Basiphobia musim padi.

ah…, aku ditelan kematian sebelum ajal sempat menjelaskan mulut dari bahasaku sendiri : mereka menelan tubuhku yang mati..

*Hypsiphobia(kecemasan yang tidak wajar terhadap ketinggian),
Basiphobia(kecemasan yang tidak wajar akan jatuh)

seremoni penelanan (1)

mulutku menelan tubuhku tanpa diremukkan, tanpa sempat dilumatkan .
angin tahu. tapi angin justru mengoceh sendirian, tak ada keinginan menceritakan kejadian barusan pada teman-teman. tapi burung diam-diam mendengar celotehan itu saat angin lewat diketiak, diantara sayap yang merentang menampung.

oh, burung memang tak punya bahasa ‘pulang’ sebelum terbang pada sarang…

mulutku menelan tubuhku. tubuhku sendiri, tubuh dari mulutku pribadi. engkau tak tahu, tapi aku akan bukakan rahasia semesta bagi engkau yang jalang : tentang bagaimana menelan tubuh sendiri dengan mulut pribadi…!!!

mari, ada tiga tahapan menuju penelanan : tiga rumah yang jurang. tiga kata yang saling perang dengan tiga juntai permata di leher bunda yang dilakonkan siang. Dan remang-remang kota tualang bersama jamuan bibir terhadap persinggahan pada liang.

cumi-cumi cuma-cuma

“cuma cumi-cumi”, katamu… ketika laut itu menelanmu. diperutnya telah bersemayam jutaan mayat, ribuan kilo telor asin dan muntahan yang menyebut namamu. jacket merahku telah menahan mual yang tak pernah usai : matahari yang biru dari ingusmu, bau ketiakku yang merayumu..

“cumi cuma-cuma…!”, kataku. ketika menawarkan sepasang kaus-kaki lengkap dengan baunya. tapi engkau malah membeli kerbau dengan kotoran. waktu itu satu juta ons kotoran kau hargai satu ekor kerbau peranakan jerman . tidak masalah…,kau tahu..?!setelah itu aku menerima sehelai rambut dari tanah kosong yang ditinggalkan berahi yang tandas. maka engkau telah menjadi papan rumahku yang kutinggalkan di lumpur itu….

aaaargh..persetan..!!
aku ingin menebas kepalamu. tapi tubuhmu yang tanpa kepala pasti akan membuangku tepat di barisan tahi lalat didadamu.

aaarghh…
aku takut mereka berkata,..: “cumi-cumiku cuma kamu”

jogja, siapa puisiku?

wow…wow…kenapa yang seperti ini tidak terlihat di jaman kita SMA ya…”

hahaha…kau ingat masa-masa ketika kita tengelam dalam arus yang meremukkan itu?akhirnya kita tak berlumur lumpur lagi, dan selembar kertas layangan meliuk2 sepersejuta kecepatan cahaya..(waktu itu kau tak mau tau dimana benangnya berpangkal)

“is it really u bang redy? sangat bagus
emang sih nggak semapt baca semua, coz udah magrib di jogja.”

huffth…kau bahkan kini tak mengenalku lagi. kita terlalu jauh untuk jumawanya kekaguman. oia, dua tahun lalu saat magrib aku menemukan setumpuk sampah di tengah kota yang usang dijantungku. diantara tumpukan itu terdapat kepala manusia. menakutkan. waktu itu aku bahkan tak tahu apa aku harus menjerit atau berlari..!

“just comment: puisi yang bagus, menentang jiwa, but sometimes kata-kata yang lebih sederhana indah, mudah dimengerti lebih asyik ya..
tergantung kepada si pengarang sih itu dibuat untuk diri mereka atau si pembaca”

ah…aku tak pernah mengarang puisi. puisi telah merangkulku menjadi mulutnya. dan engkau takkan pernah tahu bagaimana menyebut mulut tanpa kujentawahkan sebuah bahasa untukmu..

“kalau cerpen, dikit baca-baca..
back to how to write..kadanng cepern popular memang seenak kita untuk bikin. tapi, tidak mungkin kita keluar dari sistem penulisan bukan?”

sistem. aku telah mengenalnya sejak lahir.  dan aku menghindar darinya, seperti seekor burung yang terbang menghindar dari sangkar emasnya. apa kau mengenal sebuah penyakit yang tidak teratur yang bahkan seorang dokter terhebat didunia saat ini mesti menangis untuk tau gejalanya?ah, justru aku ingin mati bersamanya..
“just my opinion, kalau salah maafkan
teruskan berkarya, karena saya bangga punya kakak kelas yang hobi menuangkan pikiran dalam kata-kata…”

kau benar2 lucu..,tentu saja tak ada yang salah. seperti cinta yang tak butuh perjuangan. seperti kematian yang tidak butuh seremoni pesta-pora. aku akan terus menulis sebagai karya. kau tahu, aku adalah karya dari puisiku. tapiaku mengendalikannya dengan segala kekuatanku hingga ia mewakiliku sebagai dia yang menghasilkan aku. dan engkau tak perlu bangga. aku hanya suara dari kesadaran terakhirku…

“BERSEMANGAT!!”
…….ya..,bersemangat. kata terakhir yang menghantuiku sejak senja itu

Terhadap Hidup

aku bukan yang tau segala, tapi aku tidak mau tenggelam bersamanya. aku mencari hingga ujung pulau. hingga keterasingan menjelma sahabat padaku :hidup adalah bagaimana cara mati yang benar,…!

cerita melambangkan buah-buahan yang meranum, dan kita tak tahu kapan memetiknya. tapi segala dikandungnya, agar kita melupakan..!

tidak ada kebenaran-kebenaran yang pantas untuk diperjuangkan, dan aku melestarikan kegagalanku sebagai bentuk pemuasan gairahku yang jalang. dan ia seperti pusaran, ia mementalkanku hingga garis terluar pada saat aku berusaha menuju pusat pusarannya.

ketika kebahagian menjadi tujuan (dan dia memang tujuan…!), kita tak menemukannya dalam secarik kertas yang usang. sesaat ketika mata ingin menyentuh sela dari jiwa, kita menemukan dua bola raksasa…

sajak-sajak adalah pelampiasan kekejikan gula yang berputar. maka akan ada tebaran tepung susu pada tiap mata elang. petani tua berkata : aku tidak gamang akan pilihan-pilihan gampang..!

kita sekedar melepas penat, kala mentari menggigir puncak2 asa. ketika ketenangan telah tertingal dipulau terasing tanpa sesuara akankah aku diberi tahu bahwa dunia bukan sekedar keriangan bocah dan gairah tandas perempuan susu layu….?

gali-gali gila

coba deh, gali-gali gilamu…!

silent got madegilakah gilamu daripada gilaku?. gula-gula juga gila, bahkan lebih gila daripada gila kita. ayo, siapa pengen ikutan gila?

ada permainan gali-gali gila, gilanya tak segila gilaku. gila-gilaan bukanlah gila yang sebenar-benarnya gila, ayo kita bergila ria bersama gila,

hei, jangan gila dooong..!

kau ingat adegan gila itu? tapi mereka bukan gila seperti kita yang gila. siapa sih yang gilanya segila-gilanya?. gila, kita tidak pernah bisa gila untuk jadi gila..!

lihat deh, kita sedang gali-gali gila..!

kita akhirnya gila. seperti gilanya mereka yang ingin gila. aduuuh, ternyata gila kita ini bukan gila yang gila. kita gila karena gila mengilai gila kita dengan kata-kata gila.

wow, kita hampir gila membaca tulisan gila kita. hahaha, mari gali-gali gila sampai gila. mari gilai gila dalam gila yang benar-benar gila, segila mereka yang gila karena ingin gila dan menemu gila dikantong mereka sebagai sebentuk gila yang gila…

senja senjata

hei, selamat senja senjata..!

tumben engkau singgah, justru ketika kamarku masih berbau sisa-sisa bunga pusara. hahaha

ya, kita memang mesti tertawakan manusia. gila..!kematian butuh seremoni segala? hahaha

selamat senja senjata!

bagaimana hubunganmu dengan mereka : pencabut nyawa..?!

ceritakan juga bagaimana anakmu menjadi juara baru

atau adakah kabar tentang kereta, deru subuh, merah darah dan teriakan penghabisan?. kita terlalu muda untuk tau segala. dan kita percaya bahwa segalanya adalah ketetapan hukum alam. “meskipun kelam” katamu ketika kita menyambut malam di sudut kamarku yang muram…

selamat senja senjata..!

kapan berkunjung lagi?sekarang selesaikan tugasmu sebelum pagi, biar mereka mati demi kebenaran kita yang abadi. biar mereka tak menyiksa dan membunuh teman2 kita lagi. biar mereka bertanya : “tau apa siksaan  tentang kebenaran?”

sejata memeluk bantalku, menangisinya hingga subuh. lalu pergi untuk sekedar menghabiskan amunisi dan kembali kembali membawa berita duka : kawanku kehabisan nyawa..!