Menghadapi Gelombang Baru Faham Atheisme


MENGHADAPI GELOMBANG BARU FAHAM ATHEISME

Oleh: Redi Irwansyah

Alexander An bisa dibilang tidak beruntung. Pasalnya, dari sekian banyak penganut atheisme di Indonesia Alexander An menjadi salah satu dari sedikit orang yang ditangkap dan dihajar massa. Disertasi Saiful Mujani berjudul  “Muslim Demokrat” yang disusun pada tahun 2001-2002 untuk menyelesaikan program Doktoralnya di Ohio State University, sebenarnya menemukan paling tidak ada satu persen dari masyarakat Indonesia yang terindikasi menganut faham Atheis dan Agnostik. Sebagian besar dari mereka, menurut Mujani, lebih memilih diam dan merahasiakan faham yang  mereka anut tersebut.

Jika di Inggris penganut atheis dapat dengan leluasa mengkampanyekan tidak adanya tuhan dengan cara berkeliling kota menggunakan bis, di Indonesia mereka harus bersembunyi dengan rasa takut.  Penganut atheisme di Indonesia memang tidak mendapat tempat di dalam masyarakat yang menganut filosofi Pancasila. Tidak seperti di beberapa Negara lain, di Indonesia atheisme jelas merupakan faham terlarang karena tidak sesuai dengan sila pertama Pancasila.

Diluar itu semua, Atheisme adalah sebuah counter culture (budaya tanding) dalam struktur masyarakat yang didominasi oleh penganut theism (istilah untuk penganut agama dan ketuhanan). Sebagai budaya baru yang muncul secara tiba-tiba di tengah-tengah dominasi agama, reaksi masyarakat tentunya negatif.  Apalagi masyarakat Indonesia dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang masih “buta” akan faham dan teologi.

Masyarakat Indonesia juga cenderung fanatik dengan kepercayaan yang mereka anut. Isu-isu sosial seperti hadirnya aliran agama baru, pelecehan agama dengan media gambar maupun video, bahkan tempat-tempat hiburan, minuman keras, seks bebas, serta perzinaan menjadi Isu yang sensitif dan krusial. Beberapa kelompok yang mengatasnamakan agama tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok lain yang mereka anggap mengganggu ketentraman agama mereka. Beberapa kelompok yang lebih berbahaya bahkan dengan sengaja dan tanpa rasa bersalah melakukan tindakan terorisme terhadap tempat-tempat yang menurut mereka tidak suci.

Isu ini sebenarnya tidak terbatas pada masyarakat grass root saja. Di Indonesia, bagi politisi isu agama menjadi isu penting. Tidak mengherankan jika akhirnya politisi daerah berkampanye dari mesjid ke mesjid sebagai penceramah. Sementara itu, politisi nasional mati-matian merangkul tokoh agama untuk dijadikan salah satu tim sukses. Begitu juga dengan para elit daerah, melalui perangkatnya mereka bahkan tidak segan-segan memanfaatkan isu agama dan melabrak semua hal yang tidak selaras dengan kepercayaan kelompok yang dominan. Hal tersebut juga dipertegas dengan lahirnya perda-perda yang menyudutkan kelompok yang didominasi. Seperti yang kita ketahui, di beberapa daerah lahir perda tentang maksiat yang didasarkan pada aturan salah satu agama.

Meskipun faham atheisme bukanlah barang baru, sebenarnya masih cukup mencengangkan ketika menemukan fakta bahwa saat ini bermunculan sejumlah kelompok dan individu secara terbuka berani mengklaim diri sebagai atheis atau agnostik (orang yang skeptis terhadap keberadaan Tuhan). Beberapa situs internet membuka forum untuk masyarakat penganut atheisme. Di jejaring sosial Facebook muncul grup Indonesian Atheist Society, The Indonesian Community for Agnostic, Atheist and Sceptic, Indonesian Freethinkers dan Komunitas Agnostik Republik Indonesia. Beberapa group lainnya bahkan berani menyebutkan asal anggota dari komunitasnya sendiri. Katakanlah Minang Atheis, dimana Alexander An menjadi Administratornya.

Hal tersebut tentunya penting dicermati karena merupakan salah satu bentuk konflik sosial terbuka yang efeknya dapat bersifat krusial terhadap kondisi  masyarakat pada umumnya. Penganut agama yang cenderung fanatik di Indonesia tentunya tidak akan tinggal diam saat Alexander An mulai “bernyanyi” tentang fahamnya. Apalagi, dengan dimunculkannya Alexander An secara besar-besaran di media memberikan akses langsung kepadanya untuk bicara secara langsung kepada masyarakat. Masalahnya, tingkat pemahaman masyarakat akan faham-faham baru masih lemah. Bisa dikatakan, masyarakat belum siap dengan teori-teori yang rumit sebagai landasan atheisme.

Keberanian Alexander An dalam menyatakan faham yang dianutnya secara terbuka adalah salah satu indikasi kemunculan kembali budaya tandingan atheisme. Counter Culture sendiri adalah istilah sosiologis yang digunakan untuk menggambarkan nilai-nilai dan norma-norma perilaku dari kelompok budaya, atau subkultur, yang bertentangan dengan orang-orang dari mainstream sosial (“counterculture,” Merriam-Webster’s Online Dictionary, 2008).

Masyarakat Indonesia jelas telah menolak faham atheism. Pada tahap ini, sebagai counter culture, kukuhnya pendirian Alexander An adalah  bentuk upaya mendapatkan persetujuan (consent) ulang, baik secara personal, komunal, maupun institusional. Persetujuan tersebut memang sangat dibutuhkan sebuah faham demi mendapatkan posisi baru dalam sebuah struktur masyarakat.  Setidaknya, Alexander An telah membuka ruang bagi masyarakat untuk mempelajari faham atheisme.

Sebenarnya,  Atheisme memiliki klasifikasi tersendiri. Menurut Steven D Schafersman, secara umum seorang Atheis dapat dikategorikan Atheis Praktis atau Atheis Teoritis. Bentuk-bentuk atheisme teoretis yang berbeda-beda berasal dari argumen filosofis dan dasar pemikiran yang berbeda-beda pula. Katakanlah pemikiran-pemikiran barat mulai dari Feuerbach hingga Karl Marx, dari Voltaire hingga Albert Camus, dari Freud hingga Pascal, Sartre hingga Nietzche dan sederet filsuf lain yang menyisipkan ajaran atheism dalam bidang ilmu pengetahuannya masing-masing.

Sebaliknya, atheisme praktis tidaklah memerlukan argumen yang spesifik. Atheis Praktis terbentuk lebih dikarenakan kekecewaan terhadap hidup dengan minimnya pengetahuan tentang agama dan ketuhanan. Secara teori, Atheis praktis adalah tahapan awal seseorang menjadi atheis kuat yang nantinya dengan berani menyatakan dihadapan publik pandangannya tentang tidak adanya tuhan seperti Alexander An.

Alexander An memang tidak pernah terjun ke ruang teoritis.  Tapi, tentu saja  menjadi sangat tergesa-gesa jika mengelompokkan Alexander An sebagai Atheis Praktis. Ia pastinya juga menyadari rendahnya tingkat kesiapan masyarakat luas dalam mengenal teori-teori yang dijadikan landasan Atheisme.

Saat ini, Alexander An bisa dikatakan sedang berjudi. Terbukanya mata masyarakat terhadap faham-faham yang bertentangan dengan filosofi hidup mereka selama ini sebenarnya dapat berpengaruh positif terhadap penguatan identitas. Penolakan secara bersama-sama secara tidak langsung membangkitkan pertahanan melalui fanatisme.

Namun, pada era globalisasi informasi, masyarakat dengan karakter seperti ini tentu sangat rentan terpengaruh oleh faham-faham baru yang telah sejak lama berkembang. Tidak dapat dipungkiri, saat ini tidak semua masyarakat mengenal istilah atheis. Sebagai faham terlarang, jumlah masyarakat yang memahami seluk beluk dan jenis pemikiran atheisme juga hanya dapat dihitung dengan jari. disinilah perlunya konfrontasi terbuka terhadap faham-faham tersebut.

Selain identitas yang kuat, masyarakat yang melek faham tentunya memiliki daya tahan yang lebih terhadap datangnya faham-faham baru. Dalam proses penanganan Alexander An, demi tujuan penguatan identitas masyarakat untuk menghadapi gelombang faham kedepanya, penelusuran pemikiran Alexander An tentunya akan sangat efektif. Oleh karenanya, diperlukan orang-orang dengan pemahaman filsafat dan agama yang mumpuni untuk mengkonfrontir An.

Tindakan kepala daerah kabupaten Dharmasraya yang mengusakan “pencerahan” terhadap An tentunya tidak akan membuahkan hasil. Kata “pencerahan” tidak berlaku bagi orang-orang seperti Alexander An yang mampu memilih meloncati pagar ideologi sebuah negara.

Masyarakat tahu, Alexander An tidak sendiri. Group Minang Atheis saja memiliki seribu lebih anggota yang tersebar. Penyebarannya juga cukup cepat, mobilitas dan keberadaannya juga sulit dilacak, karena memang menggunakan jaringan internet. Oleh karenanya, hal terpenting yang harus diupayakan adalah pembekalan masyarakat dengan segala pengetahuan tentang aliran yang bertentangan dengan filosofi yang telah menjadi identitas mereka selama ini. Masyarakat dominan tentu berharap para elit kembali memainkan perannya: konfrontasi pemikiran secara terbuka dengan faham ini perlu dilakukan. Sebab, masyarakat tidak perlu segan menggiring masalah ini ke ranah akademis, demi menciptakan masyarakat yang lebih cerdas, terbuka dengan identitas yang kuat.***

About tayak

pecundang yang tidak ingin tenggelam dalam lumpur kebodohannya

Posted on Januari 23, 2012, in Artikel. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar