Monthly Archives: September 2008

23:15

23:15

maaf,

Roma 2-0 Atalanta,

cinta,

low battery,

teman,

mati.

tujah (3)

[3]

episode : meremaja………

Tujah siapa

saya siapa

situ siapa,

Ia tak lagi mengenal dirinya, lupa dan tenggelam pada pesta-pora : seremoni dunia semenjak purbakala. Getar menusuk-nusuk dadanya, beruang kutub mulai belajar menari. maka dia kembali mencari pada buah kenari dosa apa saja yang sembunyi, tapi kulitnya keras menahan diri, karena selalu saja ada orang-orang yang bilang masih terlalu pagi, untuk menyendiri dan mengerti lebih dosa mana : surga atau neraka.

Ia berusaha menghirup udara, menata dindingnya melalui dua bola raksasa. dari punggungnya mengalir istana dua puluh empat karat (masih jauhkah 60 tahun sekarat untuk abadi yang dijanjikan para keparat??!). Surga masih saja tidak meninggalkan jejak. Sementara itu, hidup hanya permainan para tuhan. “keparat lengah dan tertawa melihat kita menderita”.”jangan mengeluh, toh kamu bisa apa?”, kekasihnya menyela dari ketiaknya.

saya siapa…?

situ siapa…?

misteri mecari,

ia kemudian menjadi “pertanyaan” tanpa istri…

bersambung ke [4] dst.

tujah[2]

[2]

episode : kanak-kanak

ia melantunkan sumbang yang lahir dari becek dan sampah. gedung-gedung perkasa menelan tempat-tempat bermainnya, kelereng yang dirindunya menggelinding ke perut ibunya, memuntahkan riak dari gairah bapak. maka akan ada saudara yang mengerti pertemuan dengan bahasa pulang, kemudian memilih mati, tepat sebelum menjadi tulang-belulang. tapi ia selalu bisa melupakan. ibu-bapak berterimakasih pada besi-besi tua, gelas plastik, dan kertas penuh tulisan atau angka yang bisa ditukarkan dengan permen rasa mangga.

pagi dini hari, penghuni lemari pakaian menghujami punggungnya. ikhtisar kemarahan bapak sia-sia, ia tersungkur dikaki pelangi, kemudian mengeja darah dengan salah, luka tak pernah sembuh atau nanah. sore,ia main lagi, penghuni lemari menunggu pagi dini hari.

ia melantunkan sumbang dari darah dan nanah. asap tebal yang memakan teman-teman sedarah, setanah. bolakaki tumbuh di perut ibunya. maka, akan datang saudara sekuburan, tak lama kemudian lalu bosan dan memilih pingsan diantara jalan raya.

ibu-bapak lupa akan perempatan yang telah memberi kesempatan anak-anak mereka mengecap kembang gula.

di perempatan, lirik terakhir dari bait sumbang terakhir, tertahan hujan : “tujah…tujah…,umpatan hanya dikenal remaja dan orang tua karatan”.

bersambung ke [3]dst.

TUJAH

(1)

Episode : dilahirkan…

Empat kelinci dikurangi tiga kelinci ditambah enam kelinci sama dengan tujuh kelinci

Empat mati, tiga mati, enam mati, sama dengan tujuh mati

Untuk mati ia perlu wajah mati. Kekasihnya akan menunggu disana sebagai kuali. Ia harus memanggang tubuh ibu hingga jadi abu untuk lahir disana sebagai sebentuk debu. Dunia yang dikenalnya mengucap selamat datang pada ia yang baru (hanya sudut pandang yang selama ini terpaku dari manusia terdahulu).

Empat mati, tiga mati, enam mati, sama dengan tujuh mati

Sayang, kelahirannya bukan keputusannya. Mereka bilang ada dunia yang mengaku menjulurkan nafas untuknya:sebagai bentuk hukuman dan hinaan. tapi hukuman apa bagi mereka yang hanya bisa pipis dan menangis. Orang tua hanya mampu main mata, menuliskan makna dan mengeja : satu, dua, tiga. Ah, untuk mati ia butuh wajah mati.

Untuk hidup ia butuh hitungan lagi.

Satu mati

Dua mati

Tiga mati

Sama saja, tujuh kelinci..!

puisi bosan puisi bosan aku puisi tanpa koma

tuhan milik orang miskin takut mati. aku tak beribu. tak berbapak. tak beradik. tak berkakak.

aku sudah bosan menulis puisi, atau menerima dua atau tiga jatah pagi hari. karena pernah mengantongi air yang berwarna ungu itu : hari kita tidak berbeda dalam satu atau dua hal. kecuali ayah dan ibu : jantan dan betina yang telah ada sebelum kita bercumbu.

kita menjenguk ibu dua tahun yang lalu. tanpa sepatu. melangkah dibatu-batu yang datar. sekedar menegukkan ethiopia atau georgia yang membahana pada bulan itu. padahal ibu telah lama kehabisan susu.

aku lupa ayah dimana. mungkin engkau bisa memberitahuku.mungkin kita masih bisa bertemu ayah melalui sebuah pesan singkat, sebuah surat elektronika atau teka-teki silang. ah, meski karet celanaku adalah “sebuah jenius”(apa kau mengerti, benarkah “jenius” adalah kata sifat yang tidak dapat mewakili benda-benda atau kata benda yang menyifat?). karet dan celana, dua yang berbeda, aku masih tidak tahu bagaimana cara mencari. aku tak pernah diajari….bahkan untuk cara-cara manusia mati.

aku sudah bosan. mau pergi. tapi kabel listrik memangkuku menuju singgasana yang kemaren.

tuhan milik orang miskin takut mati. aku tak beribu. tak berbapak. tak beradik. tak berkakak.

tapi bukan sendiri. aku hanya bosan nulis puisi…

menemui lagi

Meskipun setelah malam-malam yang menjenguk mayat-mayat letih, di hutan-hutan pertempuran kutemui lagi semua yang kutinggalkan di batas pekarangan. Meski ingat harus kembali, peluru masih mengejar untuk menembus jantungku : memanaskan lagi darahku, mengusik ketubuhanku, memaksa sujud bangsaku.

Dan meskipun setelah bercengkrama dengan kopi dan malam-malam mati, kutemui lagi buah dari langit teduhku, yang kalimat pertamanya tak sempat kusaksikan: bahkan bersamamu. Maka adalah sebuah mimpi : aku ingin mendengar satu kalimat saja darinya yang pernah lupa kata “hingga”