Category Archives: Artikel

aku bukan yang tau segala, tapi aku tidk mau tenggelam bersamanya,
aku mencari hingga ujung pulau
hingga keterasingan menjelma sahabat padaku :hidup adalah bagaimana cara mati yang benar,…!

Menghadapi Gelombang Baru Faham Atheisme

MENGHADAPI GELOMBANG BARU FAHAM ATHEISME

Oleh: Redi Irwansyah

Alexander An bisa dibilang tidak beruntung. Pasalnya, dari sekian banyak penganut atheisme di Indonesia Alexander An menjadi salah satu dari sedikit orang yang ditangkap dan dihajar massa. Disertasi Saiful Mujani berjudul  “Muslim Demokrat” yang disusun pada tahun 2001-2002 untuk menyelesaikan program Doktoralnya di Ohio State University, sebenarnya menemukan paling tidak ada satu persen dari masyarakat Indonesia yang terindikasi menganut faham Atheis dan Agnostik. Sebagian besar dari mereka, menurut Mujani, lebih memilih diam dan merahasiakan faham yang  mereka anut tersebut.

Jika di Inggris penganut atheis dapat dengan leluasa mengkampanyekan tidak adanya tuhan dengan cara berkeliling kota menggunakan bis, di Indonesia mereka harus bersembunyi dengan rasa takut.  Penganut atheisme di Indonesia memang tidak mendapat tempat di dalam masyarakat yang menganut filosofi Pancasila. Tidak seperti di beberapa Negara lain, di Indonesia atheisme jelas merupakan faham terlarang karena tidak sesuai dengan sila pertama Pancasila.

Diluar itu semua, Atheisme adalah sebuah counter culture (budaya tanding) dalam struktur masyarakat yang didominasi oleh penganut theism (istilah untuk penganut agama dan ketuhanan). Sebagai budaya baru yang muncul secara tiba-tiba di tengah-tengah dominasi agama, reaksi masyarakat tentunya negatif.  Apalagi masyarakat Indonesia dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang masih “buta” akan faham dan teologi.

Masyarakat Indonesia juga cenderung fanatik dengan kepercayaan yang mereka anut. Isu-isu sosial seperti hadirnya aliran agama baru, pelecehan agama dengan media gambar maupun video, bahkan tempat-tempat hiburan, minuman keras, seks bebas, serta perzinaan menjadi Isu yang sensitif dan krusial. Beberapa kelompok yang mengatasnamakan agama tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok lain yang mereka anggap mengganggu ketentraman agama mereka. Beberapa kelompok yang lebih berbahaya bahkan dengan sengaja dan tanpa rasa bersalah melakukan tindakan terorisme terhadap tempat-tempat yang menurut mereka tidak suci.

Isu ini sebenarnya tidak terbatas pada masyarakat grass root saja. Di Indonesia, bagi politisi isu agama menjadi isu penting. Tidak mengherankan jika akhirnya politisi daerah berkampanye dari mesjid ke mesjid sebagai penceramah. Sementara itu, politisi nasional mati-matian merangkul tokoh agama untuk dijadikan salah satu tim sukses. Begitu juga dengan para elit daerah, melalui perangkatnya mereka bahkan tidak segan-segan memanfaatkan isu agama dan melabrak semua hal yang tidak selaras dengan kepercayaan kelompok yang dominan. Hal tersebut juga dipertegas dengan lahirnya perda-perda yang menyudutkan kelompok yang didominasi. Seperti yang kita ketahui, di beberapa daerah lahir perda tentang maksiat yang didasarkan pada aturan salah satu agama.

Meskipun faham atheisme bukanlah barang baru, sebenarnya masih cukup mencengangkan ketika menemukan fakta bahwa saat ini bermunculan sejumlah kelompok dan individu secara terbuka berani mengklaim diri sebagai atheis atau agnostik (orang yang skeptis terhadap keberadaan Tuhan). Beberapa situs internet membuka forum untuk masyarakat penganut atheisme. Di jejaring sosial Facebook muncul grup Indonesian Atheist Society, The Indonesian Community for Agnostic, Atheist and Sceptic, Indonesian Freethinkers dan Komunitas Agnostik Republik Indonesia. Beberapa group lainnya bahkan berani menyebutkan asal anggota dari komunitasnya sendiri. Katakanlah Minang Atheis, dimana Alexander An menjadi Administratornya.

Hal tersebut tentunya penting dicermati karena merupakan salah satu bentuk konflik sosial terbuka yang efeknya dapat bersifat krusial terhadap kondisi  masyarakat pada umumnya. Penganut agama yang cenderung fanatik di Indonesia tentunya tidak akan tinggal diam saat Alexander An mulai “bernyanyi” tentang fahamnya. Apalagi, dengan dimunculkannya Alexander An secara besar-besaran di media memberikan akses langsung kepadanya untuk bicara secara langsung kepada masyarakat. Masalahnya, tingkat pemahaman masyarakat akan faham-faham baru masih lemah. Bisa dikatakan, masyarakat belum siap dengan teori-teori yang rumit sebagai landasan atheisme.

Keberanian Alexander An dalam menyatakan faham yang dianutnya secara terbuka adalah salah satu indikasi kemunculan kembali budaya tandingan atheisme. Counter Culture sendiri adalah istilah sosiologis yang digunakan untuk menggambarkan nilai-nilai dan norma-norma perilaku dari kelompok budaya, atau subkultur, yang bertentangan dengan orang-orang dari mainstream sosial (“counterculture,” Merriam-Webster’s Online Dictionary, 2008).

Masyarakat Indonesia jelas telah menolak faham atheism. Pada tahap ini, sebagai counter culture, kukuhnya pendirian Alexander An adalah  bentuk upaya mendapatkan persetujuan (consent) ulang, baik secara personal, komunal, maupun institusional. Persetujuan tersebut memang sangat dibutuhkan sebuah faham demi mendapatkan posisi baru dalam sebuah struktur masyarakat.  Setidaknya, Alexander An telah membuka ruang bagi masyarakat untuk mempelajari faham atheisme.

Sebenarnya,  Atheisme memiliki klasifikasi tersendiri. Menurut Steven D Schafersman, secara umum seorang Atheis dapat dikategorikan Atheis Praktis atau Atheis Teoritis. Bentuk-bentuk atheisme teoretis yang berbeda-beda berasal dari argumen filosofis dan dasar pemikiran yang berbeda-beda pula. Katakanlah pemikiran-pemikiran barat mulai dari Feuerbach hingga Karl Marx, dari Voltaire hingga Albert Camus, dari Freud hingga Pascal, Sartre hingga Nietzche dan sederet filsuf lain yang menyisipkan ajaran atheism dalam bidang ilmu pengetahuannya masing-masing.

Sebaliknya, atheisme praktis tidaklah memerlukan argumen yang spesifik. Atheis Praktis terbentuk lebih dikarenakan kekecewaan terhadap hidup dengan minimnya pengetahuan tentang agama dan ketuhanan. Secara teori, Atheis praktis adalah tahapan awal seseorang menjadi atheis kuat yang nantinya dengan berani menyatakan dihadapan publik pandangannya tentang tidak adanya tuhan seperti Alexander An.

Alexander An memang tidak pernah terjun ke ruang teoritis.  Tapi, tentu saja  menjadi sangat tergesa-gesa jika mengelompokkan Alexander An sebagai Atheis Praktis. Ia pastinya juga menyadari rendahnya tingkat kesiapan masyarakat luas dalam mengenal teori-teori yang dijadikan landasan Atheisme.

Saat ini, Alexander An bisa dikatakan sedang berjudi. Terbukanya mata masyarakat terhadap faham-faham yang bertentangan dengan filosofi hidup mereka selama ini sebenarnya dapat berpengaruh positif terhadap penguatan identitas. Penolakan secara bersama-sama secara tidak langsung membangkitkan pertahanan melalui fanatisme.

Namun, pada era globalisasi informasi, masyarakat dengan karakter seperti ini tentu sangat rentan terpengaruh oleh faham-faham baru yang telah sejak lama berkembang. Tidak dapat dipungkiri, saat ini tidak semua masyarakat mengenal istilah atheis. Sebagai faham terlarang, jumlah masyarakat yang memahami seluk beluk dan jenis pemikiran atheisme juga hanya dapat dihitung dengan jari. disinilah perlunya konfrontasi terbuka terhadap faham-faham tersebut.

Selain identitas yang kuat, masyarakat yang melek faham tentunya memiliki daya tahan yang lebih terhadap datangnya faham-faham baru. Dalam proses penanganan Alexander An, demi tujuan penguatan identitas masyarakat untuk menghadapi gelombang faham kedepanya, penelusuran pemikiran Alexander An tentunya akan sangat efektif. Oleh karenanya, diperlukan orang-orang dengan pemahaman filsafat dan agama yang mumpuni untuk mengkonfrontir An.

Tindakan kepala daerah kabupaten Dharmasraya yang mengusakan “pencerahan” terhadap An tentunya tidak akan membuahkan hasil. Kata “pencerahan” tidak berlaku bagi orang-orang seperti Alexander An yang mampu memilih meloncati pagar ideologi sebuah negara.

Masyarakat tahu, Alexander An tidak sendiri. Group Minang Atheis saja memiliki seribu lebih anggota yang tersebar. Penyebarannya juga cukup cepat, mobilitas dan keberadaannya juga sulit dilacak, karena memang menggunakan jaringan internet. Oleh karenanya, hal terpenting yang harus diupayakan adalah pembekalan masyarakat dengan segala pengetahuan tentang aliran yang bertentangan dengan filosofi yang telah menjadi identitas mereka selama ini. Masyarakat dominan tentu berharap para elit kembali memainkan perannya: konfrontasi pemikiran secara terbuka dengan faham ini perlu dilakukan. Sebab, masyarakat tidak perlu segan menggiring masalah ini ke ranah akademis, demi menciptakan masyarakat yang lebih cerdas, terbuka dengan identitas yang kuat.***

Pergeseran Motif Kegiatan Jurnalisme Investigasi

Oleh: Redi Irwansyah

Pada pertengahan  tahun 2011 sebagian besar elit dunia sempat dikejutkan oleh Wikileaks, yang dalam laporannya mengungkap bobrok-bobrok besar di berbagai belahan dunia. Laporan tersebut kemudian di Follow up oleh beberapa media. Alhasil, tim kecil yang berisi pribadi-pribadi luar biasa ini kemudian di uber-uber banyak negara karena dianggap dapat mengacaukan stabilitas internasional.

Begitu juga yang dialami David Graham Philip, yang menulis laporan berseri The Treason of the Senate (kecurangan di Senat). Ia harus menyaksikan langsung kemarahan Presiden Amerika Serikat saat itu, Theodore Rosevelt (S. Santana. Jurnalisme Investigasi. Yayasan Obor Indonesia. 2003).

Catatan awal reportase investigasi disebut-sebut terbit pada Tahun 1960. Benjamin Harris menerbitkan laporan yang berjudul Public Occurrences, Both Foreign and Domestic (kejadian Umum yang berlangsung di luar dan dalam negeri). Surat kabarnya kemudian ditutup oleh pemerintah Amerika. Laporan Benjamin Harris tersebut kemudian dianggap sebagai laporan investigasi pertama meskipun jauh sebelumnya, pada tahun 1721, James Franklin harus meringkuk di penjara, karena reportasenya dianggap sembarangan.

 Di Indonesia, juga sudah banyak reporter yang harus meringkuk di dalam penjara saat mencoba lebih jauh mengorek informasi dan menerbitkannya. Beberapa media bahkan di bredel. Pada zaman Soeharto, Indonesia Raya yang mengungkap kebobrokan dan korupsi di Pertamina yang melibatkan Soeharto dan Ibnu Sutowo akhirnya ditutup. Begitu juga TEMPO, yang mencoba menulis secara lengkap soal skandal pembelian kapal perang bekas armada Jerman Timur, yang melibatkan Menteri Riset dan Teknologi, waktu itu B.J. Habibie dengan Soeharto dan Liem Soei Liong.

Gunawan Moehammad, mantan pimpinan redaksi Majalah Tempo bahkan memutuskan berhenti sebagai Pimpinan Redaksi dan menghentikan produksi investigative reporting setelah menuai berbagai masalah. Beliau kemudian dituding banyak pihak berhenti menjadi seorang jurnalis sejak saat itu.

Investigate (English) sendiri terdiri atas dua penggalan kata. Yaitu Invest dan Gate. Harfiahnya, Investigasi bisa didefinisikan dengan: mengeluarkan sumber daya untuk mendapatkan sesuatu (Invest) yang disembunyikan dari orang lain (Gate/Skandal). Tujuannya sendiri cukup jelas, untuk mengungkap hal-hal yang sangat krusial dan sengaja tidak dimunculkan. Lumrah,  jika akhirnya investigasi sendiri akhirnya harus berdekatan, bahkan berdekapan dengan hal-hal berbau tabu dan bahaya.

Pergeseran Motif

Setelah reformasi dan diluncurkannya UU No. 40 Th 1999 tentang Pers, Pers seperti mendapatkan nafas baru. Kemudahan prosedur penerbitan media menjadi alasan bermunculannya berbagai media di Indonesia. Media-media yang mengkhususkan diri menyediakan laporan investigatif pun mendominasi. Banyaknya media khusus investigasi ini kembali membuka harapan akan Indonesia yang jauh lebih baik. Meskipun, pasca penerapan UU 40 Th 1999 tersebut, kualitas seorang jurnalis justru menjadi masalah tersendiri. Uji kompetensi tentunya tidak dapat dilakukan secara menyeluruh.

Rasanya cukup logis mengatakan bahwa kemampuan seorang jurnalis dalam mengungkapkan fakta kecurangan-kecurangan yang terjadi, baik di lingkup birokrasi hingga kejadian-kejadian yang berkembang di tengah masyarakat berbeda satu sama lain. Begitu juga motif yang digunakan. Seorang jurnalis mungkin saja menyajikan laporannya dengan harapan dapat menciptakan keadaan yang lebih baik dalam masyarakatnya. Meskipun tidak dapat dipungkiri, ada juga jurnalis yang sengaja membuat laporan investigasi untuk menembus tingkatan karier yang lebih baik.

Hegemoni media-media besar yang biasanya terbit secara harian menciptakan Demonstrasion Effect(kecenderungan untuk meniru) khas kapitalisme di setiap insan Pers hingga calon jurnalis. Media-media Investigasi yang tidak begitu terkenal namun aktif menyajikan laporan investigasi baik mingguan maupun bulanan tidak lagi menjadi target cita-cita tempat kerja bagi kebanyakan mahasiswa jurnalistik. Tingkat gaji yang lebih tinggi dan kebanggaan bekerja di media-media harian lokal maupun nasional akhirnya menjadi alasan-alasan mereka berkarya.

Dilain pihak, besarnya sumberdaya yang harus dikeluarkan dalam menghasilkan laporan investigasi membuat kebanyakan jurnalis akhirnya memilih hanya melakukan tugas-tugas resmi semisal menghadiri pertemuan dewan kota, DPR atau pertemuan lainnya. Mereka mencatat atau merekam pertemuan, kemudian menyelesaikan berita sebelum deadline (tenggat) untuk kemudian memperoleh amplop.

Jurnalis seperti ini jelas tidak mampu menjadi investigator, karena mengikuti agenda pihak lain, ia tidak memiliki tujuan tersendiri dan tidak begitu peduli dengan efek dari publikasi beritanya. Ia enggan memikirkan fungsi, tujuan maupun nilai-nilai jurnalisme. Ia gagal menangkap pembicaraan pribadi diantara anggota dewan kota, stafnya dan interes grup. Ia tidak menelaah  kontak-kontrak atau membuka dokumen rahasia lain yang potensial. Jurnalis seperti ini lebih banyak berlaku seperti pengeras suara dibandingkan reporter atau penulis.

Macetnya Jurnalisme Investigatif

Meninggalkan nilai-nilai etika dan moral demi mengamankan sejumlah materi memang terjadi hampir di setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia, tidak terkecuali jurnalisme di Sumatera Barat. Dengan sedikitnya investigator yang tersisa, masih ada saja yang bahkan membuat laporan untuk keuntungan pribadi dengan menjual data dan fakta. Akhirnya, aspek moral, yang menurut Mencher (Melvin Mencher, News Reporting and Writing, Brown & benchmanrk Publishers,1997) merupakan pemicu utama bagi para jurnalis dalam melakukan peliputan investigasi,  tidak mampu memacu gairah produksi laporan investigasi.

Selain itu, beberapa media kecil di Sumatera Barat yang masih berusaha untuk tetap eksis ternyata sama sekali tidak memberikan kompensasi yang cukup bagi jurnalis-jurnalisnya. Tanpa gaji yang cukup, akhirnya jurnalis-jurnalis yang kurang sejahtera ini, terkungkung dalam iklim amplop yang menggila. Dihujani amplop dari para pejabat, jurnalis-jurnalis ini memenuhi kebutuhan ekonominya sendiri.  Amplop yang lebih lebar bahkan bisa didapat jika jurnalis ini memiliki data dan bukti kecurangan pejabat pemberi amplop.

Sumatera Barat sebenarnya memiliki media-media Investigasi yang cukup punya kompetensi dan sudah berkiprah sudah cukup lama. Saat ini masih terbit koran-koran mingguan seperti Jejak News, Bakinnews, Investigasi dan Binnews yang sejak awal berdirinya mengkhususkan diri menyajikan laporan investigasi. Koran-koran ini pada kenyataannya tidak begitu dikenal oleh masyarakat luas. Dengan oplah yang terbatas akhirnya laporan-laporan mereka hanya dibaca oleh segelintir orang yang memiliki kepentingan saja. Dengan minimnya pembaca, tujuan dari penyajian laporan investigasi pun akhirnya sulit untuk dicapai.

Media harian di Sumatera Barat yang notabene-nya memiliki pembaca yang lebih banyak, juga menyajikan beberapa laporan investigasi, meskipun tidak begitu mendalam-karena memang bukan merupakan bidang khususnya.

Meskipun sebenarnya mampu menghasilkan laporan investigasi yang bernilai, wartawan harian yang jumlahnya terbatas ini dibebani berita setiap harinya. Mereka tidak memiliki waktu tenggat yang cukup untuk melakukan paper & people trails. Tidak ada narasumber dan saksi kunci baru yang berhasil ditemukan, tidak ada dokumen dan catatan publik yang diteliti dan dianalisa. Laporan dibuat berbahankan catatan-catatan yang dibuat sendiri sebagai hasil wawancara dengan pihak berwenang.  Penetrasi dan Inovasi dalam berwawancara dan penulisan berita juga masih terlalu minim karena berbenturan dengan kebijakan jumlah halaman dan arah kepentingan berita pada tiap media. Alhasil, banyak media harian gagal menghasilkan laporan investigasi yang berkualitas.

LSM sebagai Investigator dan mitra utama penyedia informasi bagi para jurnalis juga mengalami hal yang hampir serupa. Tindakan penyelidikan yang dilakukan secara swadaya oleh intelijen mereka,  hingga data-data laporan yang diperoleh,  tidak mendapat kesempatan publikasi yang lebih luas – karena dikalahkan space iklan.

Selain itu, menurut Ellizabeth Fuller Collins dalam bukunya “Indonesian Betrayed” yang diterbitkan  University of Hawai’i Press pada tahun 2007, LSM di Indonesia cenderung menggunakan hasil penyelidikan untuk menutupi biaya yang dikeluarkan dan mendapatkan keuntungan pribadi.  Pada Bab yang berjudul “LSM: Mana Lokak Saya?- Negara dan Korupsi”, Ellizabeth menceritakan secara terbuka tindak-tanduk tidak benar dari beberapa LSM di Indonesia, khususnya Sumatera Selatan. Apa yang terjadi di Sumatera Selatan juga tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Sumatera Barat. “Bagi-bagi jatah” menjadi hal yang lumrah. Dan bukan tidak mungkin dapat dibuktikan secara langsung.

Kemudian, rasanya tidak terlalu berlebihan juga jika penulis mengatakan bahwa di Sumatera Barat, cita-cita untuk menciptakan good governance dan social goodness masih terlalu jauh.  Disamping masyarakatnya yang memang belum cukup mampu menyadari pentingnya memperjuangkan hak-hak mereka serta tumpulnya penegak hukum, pers sebagai alat kontrol sosial juga dinilai masih gagal memainkan fungsinya. ***

COUNTER CULTURE DI DUNIA PENDIDIKAN INDONESIA

Dimana mahasiswa yang berbudaya ilmiah?, apa penyebab rendahnya kualitas lulusan?, siapa yang bertanggung jawab atas bobroknya sumber daya manusia Iindonesia?. Pertanyaan-pertanyaan sejenis sering kita jumpai, berikut juga alternatif solusi yang dapat ditempuh yang dikemukakan dan ditawarkan “spesialis pendidikan”.

Di tengah masyarakat, bahkan orang-orang yang terbilang awam pun berani menyatakan pandangannya. Adakalanya argumen mereka tersebut dihiasi dengan cerita-cerita yang mendebarkan, penuh semangat, dan penuh mimpi. Hal itu menunjukkan adanya perhatian dan kecintaan masyarakat luas yg sangat besar terhadap permasalahan yang ada dalam dunia pendidikan kita.

Maka jangan salah, tulisan seperti ini dapat kita temui dimana saja, kapan saja, dengan tokoh penulis dan sudut pandang yang mungkin berbeda. Katakanlah; Politikus, intelektual kampus, ataupun budayawan. Meskipun dengan konsepsi sudut pandang yang ngawur dan arah yang tidak jelas saya akan coba mengulas kembali masalah dilematis dunia pendidikan kita ini sekali lagi.

Dari sisi penulis, tulisan ini ditujukan sebagai refleksi dari semakin disadari rendahnya kualitas lulusan dengan penuh oleh seluruh lapisan masyarakat dewasa ini. Sarjana yang mampu menguraikan isi pikirannya dengan bahasa bersih, gagasan runtut, logis, dan terperinci, hampir menjadi spesies langka di tanah Indonesia.

Sementara itu, pusat-pusat konservasi malah dijadikan manufaktur yang memproduksi robot-robot dengan desain baru yang menggiurkan. Disaat kita membutuhkan pemikir dan pemimpin yang memiliki kemampuan konseptual, perguruan tinggi justru berpacu memproduksi “pekerja” setengah manusia!. Mesin- mesin bekerja sesuai dengan prosedur, sarjana dipoles seindah-indahnya agar memiliki nilai jual, dibungkus dengan baik melalui pengawasan yang ketat. Kemampuan dan keragaman pemikiran mahasiswa dimandulkan, diarahkan untuk satu tujuan; bekerja, bukan berkarya!.

Berkat proses homogenisasi produksi, maka dihasilkanlah produk yang hampir saling identik(kita tidak bisa meremehkan aspek subjektivitas manusia). Namun jelas, diakui atau tidak mahasiswa hampir selalu dan terus menerus diberlakukan sebagai objek. Mahasiswa adalah bahan baku yang akan diproses menjadi produk. Lalu apa peranan mahasiswa?, beberapa diantaranya; menghafal, menghafal, menghafal!!!. Atau dengan kalimat lain; ikuti arus produksi agar dapat menjadi produk bermutu demi akreditasi!!. Maka lenyaplah mahasiswa –mahasiswa yang dimnamis dan kritis. Produk bermutu diartikan manusia dengan kemampuan teknis nyaris sempurna.

Secara berani kita harus mengakui dengan jujur bahwa seperti inilah realitas dunia pendidikan kita, secara holistik maupun parsial. Pandangan-pandangan seperti itu telah memiliki eksistensi penuh dan mendominasi masyarakat. Charlotte Buehler membenarkan adanya kecenderungan struktur sosial mengarahkan masyarakat menuju homogenisasi. Menurut Buehler, “interaksi individu dengan pola-pola tindakan, cara berpikir, maupun cara hidup kelompoknya akan membentuk sikap (attitude) terhadap eksistensi, keberperanan dan keberfungsiannya dalam kelompok melalui proses internalisasi, sosialisasi, dan enkulturisasi”. Manusia terikat pada struktur social masyarakat . distribusi kebudayaan yang terus berlangsung dari generasi kegenerasi diterima dengan sadar ataupun tidak sadar. Secara tidak sadar, individu memposisikan pandangan hidup masyarakat sebagai pandangan hidupnya sendiri (internalization process). Secara sadar, individu dapat berperan sebagai penganut kebudayaan(creature of culture), pembawa (carrier), manipulator maupun pencipta (creator).

Penyempitan dan pemandulan cita-cita pendidikan telah begitu mengakar dan membudaya. Masayarakat ilmiah kita, yang saat ini menganut “ideologi manufaktur” sendiri adalah hasil dari interaksi sosial. Hampir semua elemen masyarakat memiliki dimensi cara pandang yang sama; perguruan tinggi adalah pasar modal, dimana investasi yang dilakukan secara sadar, diharapkan mampu menghasilakan return yang memuaskan. Dan hal tersebut semakin dipersempit lagi; return yang memuaskan adalah tingkat pengembalian berupa “fulus” dengan jumlah besar!.

Lahirnya pandangan-pandangan tersebut dapat dikarenakan oleh beragam dan bermacam factor, determinan ataupun abstrak . Maka untuk dapat memastikan penyebabnya, perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam. Namun, sebagai hipotesa awal, secara deduktif-induktif, bahkan dengan kasat mata kita dapat melihat adanya kecenderungan saat ini bahwa demi mencapai target, manusia tidak lagi dijadikan “subject of knowledge”. Justru sebaliknya, ilmu pengetahuan dimasukkan langsung kedalam mulut dan ditelan. Bahkan untuk mengunyah saja kita belum mampu. Maka, dilakukanlah pembatasan ilmu pengetahuan. Faham atau “isme-isme” yang dianggap berbahaya (karena keterbatasan kemampuan mencerna) dilarang masuk, masyarakatbelum cukup cerdas dan kritis!. Masalah ini kemudian menjadi paradoksal. Kebodohan merajalela!

Beberapa aktivis yang belakangan sempat bertatap muka dengan penulis sendiri, menolak mentah-mentah tuduahan ini. “kami kritis, kami hadir setiap kali diadakan demonstrasi, kami berani melawan kesewenang-wenangan!”. Ironis, makna dan arti kritispun saat ini telah disempitkan!

Budaya Tanding

Jika Karl Marx getol dengan revolusi kebudayaannya, penulis mencoba mengajukan pembentukan “counter culture”(budaya tanding). Istilah counter culture sendiri adalahistilah dalam filsafat antropologi sosial yang secara sederhana didefenisikan oleh Jhon Milton, dalam bukunya Counter Culture(1982) sebagai “seperangkat sikap dan pola perilaku dari sebuah kelompok yang secara tajam bertentangan dengan pola sikap dan perilaku dominan dalam masyarakat dimana kelompok itu menjadi bagiannya”.

Pembentukan “counter culture” itu sendiri penting dilakukan ditengah arus kebudayaan menghafaldan “ideologi manufaktur” yang mendominasi masyarakat pendidikan kita. Karl Marx melalui filsafat materialisme-nya terus menerus membuktikan adanya proses dialektika (logika-kontradiksi-mekanis) dalam pembentukan kebudayaan. Secara historis, pergeseran nilai-nilai, norma-norma, pola perilaku dan pandangan hidup yang ada adalah hasil dari adanya pergesekan antara kultur yang mendominasi dan subkultur yang terus berusaha merealisasikan ideal budayanya. Budaya yang eksist saat ini adalah sintesa berupa budaya campuran yang diperbaharui, maupun budaya yang berhasil keluar sebagai pemenang atas kontradiksi yang ada. Dan hal ini, menurut Marx, akan terjadi terus menerus, sepanjang pembuatan sejarah terus dilakukan. Lalu siapa yang akan menjadi tokoh?. Tentu saja manusia-manusia muda, yang semakin merasakan adanya ketidakberesan stuktur sosial yang lama dan memiliki pemahaman akan hal tersebut.

Apa saja bentuk budaya tandingan (counter culture) yang perlu dan kita butuhkan?. Sebagai langkah awal, kita harus mengembalikan posisi ilmu pengetahuan sebagai objek “pelayan” manusia.

Mahasiswa harus mampu bersikap aktif dan reaktif, bahkan represif, dalam hal ini terhadap ilmu pengetahuan. Dengan kata lain; kita budayakan kembali kekritisan, kita harus mencari, mengunyah dan menelan, merasakan kemudian menciptakan sesuatu yang baru di bidang ilmu pengetahuan. Kita buang perspektif lama, kita ganti “bekerja” dengan “berkarya”. Dimana, berkaryakita maknai sebagai pengaplikasian ilmu yang kita dapat melalui lembaga pendidikan (apapun orientasi dari konsentrasi ilmu yang dipelajari!). Karena, tanggung jawab pengembangan ilmu pengetahuan bukan dibatasi atau diperuntukkan bagi mahasiswa program doktoral semata. Tanggung jawab ini sepenuhnya adalah tanggung jawab seluruh elemen masyarakat, demi menciptakan kualitas kehidupan yang lebih baik.

…. Dum spiro, spero ….