Apa di Kotamu Ada Bioskop?


“sesampainya di laut, kuceritakan semuanya”

tapi kau tidak pernah menceritakan semuanya, El. Di kerongkonganmu ada rumah gadang, berhala, lampu kota dan magnum. Aku hanya ingin mencurimu dari mereka, untuk kukantongi, dan kunikahi , di bioskop.

“masih lamakah?”, tanyamu. Dan gigi-gigi mengatup.

kebanyakan Jurnalis memang begitu, El. Arwah mereka meletup, berputus asa. Sengaja, mungkin. Menyerah pada kejadian dan kecurangan. Maka tolonglah berhentilah bernyanyi; karena hari-hari selalu kembali, seperti di bulan Januari. Seperti di bulan januari, aku kembali menginginkanmu. Dan dengan sesederhana itu : engkau melamarku.

“mungkin tuhan mulai bosan?”

Engkaulah tuhan. Dan aku tetap saja mencuci kaus kaki, El. Persiapan untuk bertemu gerombolan penjahat, calo calon, tanah ulayat dan janin. Untuk itu, tolonglah menjauh, untuk kuperistri nanti, atau mati, di bioskop, sebagai tuhan.

“aku tidak percaya , apa buktimu”, katamu. Dan gelombang tiba-tiba pasang. Merah Padam: dari senyummu yang terlalu simpul

Memang, Kebanyakan penyair begitu, El. Kaki-kaki berapi, yang membakar. Sengaja atau tidak, mereka mencintai kebenaran. Dan membenarkan. Maka tolonglah berhenti tersenyum; karena di matamu; singgalang runtuh, menjadi air, yang kau bawa di lengan. Dan karena penyair memilih sendiri tuhannya, aku memilihmu.

Percayalah, aku masih ingin mendaki gunung, El, kebenaran pada salah satu sudut kotamu. Justru karena rumput tidak lagi bergoyang, El : “alam mulai enggan bersahabat”

About tayak

pecundang yang tidak ingin tenggelam dalam lumpur kebodohannya

Posted on Januari 10, 2012, in sajak and tagged , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink. 1 Komentar.

  1. di kota saya tak ada satupun bioskop yang tak pernah menampilkan kematian, entahlah

Tinggalkan komentar